Selasa, 31 Maret 2020

LIMA LEMBAGA SURVEY


A.      CPI - Corruption Perception Index
        Transparancy International, sebuah Organisasi yang bertujuan melawan korupsi banyak mempublikasikan hasil survey terkait korupsi. Termasuk Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi). Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi) atau disingkat IPK adalah sebuah publikasi tahunan yang mengurutkan negara-negara di dunia bedasarkan persepsi atau anggapan publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politik.


  • Tujuan Corruption Perception Index (CPI)
Transparancy International mempertemukan bangsa - bangsa dalam suatu koalisi untuk mengakhiri dampak buruk yang dahsyat dari korupsi terhadap manusia di seluruh dunia. Misi Transparancy International adalah menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi. Dengan diluncurkan Corruption Perception Index setiap tahunnya bertujuan untuk selalu mengingatkan bahwa korupsi masih merupakan bahaya besar yang mengancam dunia.

2

  • Objek Survey Corruption Perception Index (CPI)
Objek Survey Corruption Perception Index (CPI) adalah pegawai negeri sipil dan aparat kepolisian yang berada di negara yang di survey.
  • Hasil survey tahun terakhir
  • Pendapat atau ulasan mengenai hasil survey tersebut
Hasil survey CPI pada tahun 2019 adalah Indonesia berada di peringkat 85 dengan skor 40. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2018, Indonesia mengalami kenaikan peringkat yaitu dari sebelumnya peringkat 89 dengan skor 38. Hal ini menunjukkan bahwa bukti langkah Indonesia untuk memberantas korupsi cukup berpengaruh.

B.      GCB – Global Corruption Barometer
        Global Corruption Barometer adalah salah satu publikasi utama Transparancy International yang mempertemukan para pakar dari seluruh dunia untuk membahas dan menganalisis korupsi di sector tertentu.

  • Tujuan Global Corruption Barometer
Global Corruption Barometer bertujuan sebagai potret kinerja pemberantasan korupsi berdasarkan persepsi dan pengalaman masyarakat di masing – masing negara.

  • Objek Survey Global Corruption Barometer
Survey dilakukan kepada hampir 22.000 responden rumah tangga (>18 tahun) di Negara Asia Pasifik. Di Indonesia, survey dilakukan terhadap 1000 responden yang tersebar secara proporsional di 31 provinsi.
 
  •  Hasil survey tahun terakhir
Hasil GCB menunjukkan anggota legislatif di seluruh Asia Pasifik perlu memperjuangkan keberpihakan terhadap whistleblower; Pemerintah harus menepati janji untuk memberantas korupsi, termasuk komitmen untuk memuhi Sustainable Develpoment Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Hasil GCB juga memeberikan gambaran bahwa korupsi masih terjadi dalam sektor layanan publik yang diselenggarakan negara. Ketika berinteraksi dengan layanan publik, lebih dari sepertiga masyarakat harus membayar suap.

  • Pendapat atau ulasan mengenai hasil survey tersebut
Pemerintah harus lebih serius membangun tata kelola yang tidak rentan korupsi, serta memastikan masyarakt dapat aktif mengawasi.

C.      BPI – Bribe Payer Index
Bribe Payer Index merupakan hasil survey yang dilakukan secara berkala oleh Transparancy International.
  • Tujuan Bribe Payer Index
Hasil survei yang dilakukan secara berkala oleh Transparancy International untuk memotret praktik suap yang dilakukan pelaku usaha terhadap penyelenggara negara diluar negara domisili kelompok usaha tersebut.
  •  Objek Survey Bribe Payer Index
Objek Survey Bribe Payer Index adalah responden dari pelaku bisnis dari 28 negara yang kumulatif bereperan signifikan terhadap perekonomian Negara, dengan total rasio foreign direct investment dan ekspor global sebesar 78 persen.
  • Hasil survey tahun terakhir
Hasilnya survey nya menempatkan Indonesia sebagai peringkat keempat terbawah Negara yang paling banyak melakukan suap dalam transaksi bisnis di luar negeri.
  •  Pendapat atau ulasan mengenai hasil survey tersebut
Korupsi dilaporkan menjadi faktor yang paling menghambat penyelenggaraan bisnis di Indonesia.

D.      PERC – Political and Economic Risk Consultancy
Political and Economic Risk Consultancy, Ltd. (PERC) melakukan kajian untuk menilai resiko politik dan ekonomi suatu negara.
  • Tujuan Political and Economic Risk Consultancy
Laporan ini bertujuan untuk memberikan ikhtisar tren korupsi di Asia dan analisis terperinci tentang situasi korupsi di masing-masing negara.
  •  Objek Political and Economic Risk Consultancy
Objek Political and Economic Risk Consultancy adalah Aktual dari jenis analisis, penelitian, dan layanan lain yang disediakan PERC.
  • Hasil survey tahun terakhir
  • Pendapatan atau ulasan atas hasil survey tersebut
Dalam persepsi tentang korupsi di Indonesia memiliki korupsi yang cukup sedikit yaitu 7,57 yang kemudian dilanjutkan oleh Vietnam dan Cambonia dengan score paling tinggi yang artinya Indonesia kita korupsi memang sangat sering terjadi hingga saat ini.

E.       GCI – Global Competitiveness Index
The global Competitiveness Report mengelompokan perkembangan ekonomi suatu negara kedalam tiga tahap. Tahap 1 disebut factor driven. Tahap 2 disebut efficincy driven. Dan tahap 3 disebut innovation driven. Ada negara-negara yang sedang dalam peralihan, misalnya dari tahap 1 ke 2 atau dari tahap 2 ke 3.
  • Tujuan The global Competitiveness Report
Laporan ini menyoal kemampuan Negara – Negara untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Hal ini tergantung dari seberapa produktif sebuah Negara menggunakan sumber daya yang tersedia.
  •  Objek The global Competitiveness Report
Objek The global Competitiveness Report adalah institusi, infrastruktur, makroekonomi, kesehatan, pendidikan dll.
  • Hasil survey tahun terakhir

  •  Pendapatan atau ulasan atas hasil survey tersebut
Untuk hasil ini pada tahun 2017 – 2018 Indonesia berada di posisi tengah. Budaya bisnis Indonesia cukup dinamis, dan sistem keuangan juga stabil.


SUMBER :
perpustakaan.bappenafiles.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F2529/Survei%20PERC.htm

Jumat, 20 Maret 2020

SKANDAL CESSIE BANK BALI

Skandal Cessie Bank Bali terjadi pada saat krisis moneter tahun 1997-1998. Skandal ini menyangkut sejumlah nama besar,  mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie. Bahkan  dalam kasus ini, Rudy Ramli – Direktur Utama Bank Bali yang juga  anak kandung Djaya Ramli, pendiri Bank Bali – menjadi tersangka.

Skandal ini bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair. Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya. Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih. Setelah penanda tanganan tersebut Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan uang Bank Bali itu. Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat.

Konon, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil. Isu ini terus menggelinding bak bola liar, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto angkat bicara. Pradjoto mencium skandal cessie ini berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari total fee yang diterima Era Giat. Perlahan-lahan, kejanggalan itu mulai terkuak. Cessie itu, misalnya, tak diketahui BPPN, padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie itu juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT BEJ, padahal Bank Bali sudah masuk bursa. Selain itu, penagihan kepada BPPN ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan Era Giat. Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf sadar akan kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie.

Mulai saat itulah, genderang perang  ditabuh Setya novanto lalu menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA), melalui putusan kasasinya pada November 2004, memenangkan BPPN. Tak cukup di situ, Era Giat  juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar. Pengadilan, pada April 2000, memutuskan Era Giat berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu. Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, Mahkamah Agung memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu hak Bank Bali. Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN). Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.

Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara atas putusan MA tahun 2004. Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu. Yang kontroversial adalah Djoko. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi  Djoko  dinyatakan bebas. Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK). Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko dan Sjahril Sabirin bersalah dan menghukum keduanya dua tahun penjara.

Yang luput dari jeratan hukum (sempat jadi tersangka) :
Setya Novanto, Direktur PT Era Giat Prima
Tanri Abeng, mantan Menteri Pendayagunaan BUMN
Erman Munzir, Pejabat Bank Indonesia

Dibebaskan lewat putusan sela PN Selatan :
Rudi Ramli, mantan Direktur Utama Bank Bali
Firman Soetjahja, mantan anggota direksi Bank Bali
Rusli Suryadi, mantan anggota direksi Bank Bali

Yang sempat terseret :
Marimutu Manimaren (saat itu Bendahara Golkar)
Glenn Yusuf (saat itu Ketua BPPN)
Farid Harianto (saat itu Wakil Ketua BPPN)
Bambang Subianto (saat itu Menteri Keuangan)
J.B. Sumarlin (mantan Menteri Keuangan)
A.A. Baramuli (saat itu tokoh Golkar)

Pendapat saya mengenai skandal Cessie Bank Bali adalah akuntansi forensik sangat membantu dalam membongkar fraud yang terjadi pada Bank Bali. Kantor Akuntan Besar dunia (The Big Four) Pricewaterhouse Coopers (PwC) adalah KAP yang berhasil membongkar fraud tersebut. Dengan adanya akuntansi forensik, kita dapat menggunakan keahlian di bidang audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk dapat memecahkan suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud yang pada akhirnya akan diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat penyelesaian perkara lainnya.

Sumber:
https://lipsus.kontan.co.id/v2/perbankan/read/325/Skandal-Bank-Bali-kongkalingkong-berbau-politik
https://m.detik.com/news/berita/d-1149511/lika-liku-joko-tjandra-dan-kasus-cessie-bank-bali
https://imagama.feb.ugm.ac.id/2014/03/19/akuntansi-forensik/